Memotong kuku hukumnya sunnah, tidak wajib. Dan yang dihilangkan
adalah kuku yang tumbuh melebihi ujung jari, karena kotoran dapat
tersimpan/tersembunyi di bawahnya dan juga dapat menghalangi sampainya
air wudhu. Disenangi untuk melakukannya dari kuku jari jemari kedua
tangan, baru kemudian kuku pada jari-jemari kedua kaki. Tidak ada dalil
yang shahih yang dapat menjadi sandaran dalam penetapan kuku jari mana
yang terlebih dahulu dipotong.
Ibnu Daqiqil Ied rahimahullahu berkata, “Orang yang mengatakan
sunnahnya mendahulukan jari tangan daripada jari kaki ketika memotong
kuku perlu mendatangkan dalil, karena kemutlakan dalil anjuran memotong
(tanpa ada perincian mana yang didahulukan) menolak hal tersebut.”
Namun mendahulukan bagian yang kanan dari jemari tangan dan kaki ada
asalnya, yaitu hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang menyatakan bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyenangi memulai dari bagian
kanan. (Lihat Fathul Bari 10/425, Tharhut Tatsrib fi Syarhit Taqrib
1/241, Al-Mughni, kitab Ath-Thaharah, fashl Hukmu Taqlimul Azhfar)
Tidak ada dalil yang shahih tentang penentuan hari tertentu untuk memotong kuku, seperti hadits:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَسْتَحِبُّ أَنْ يَأْخُذَ
مِنْ أَظْفَارِهِ وَشَارِبِهِ
يَوْمَ الْجُمُعَةِ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyenangi memotong kuku dan kumisnya pada hari Jum’at.”
Hadits ini merupakan salah satu riwayat mursal dari Abu Ja’far
Al-Baqir, sementara hadits mursal termasuk hadits dhaif. Wallahu a’lamu
bish-shawab.
Dengan demikian memotong kuku dapat dilakukan kapan saja sesuai
kebutuhan. Al-Hafizh rahimahullahu menyatakan melakukannya pada setiap
hari Jum’at tidaklah terlarang, karena bersungguh-sungguh membersihkan
diri pada hari tersebut merupakan perkara yang disyariatkan. (Fathul
Bari, 10/425)
Akan tetapi kuku-kuku tersebut jangan dibiarkan tumbuh lebih dari 40
hari karena hal itu dilarang, sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik
radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
وُقِّتَ لَنَا فِي قَصِّ
الشَّارِبِ وَتَقْلِيْمِ
اْلأَظْفَارِ وَنَتْفِ
اْلإِبْطِ وَحَلْقِ الْعَانَةِ
أَنْ لاَ نَتْرُكَ أَكْثَرَ
مِنْ أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً
“Ditetapkan waktu bagi kami dalam memotong kumis, menggunting kuku,
mencabut rambut ketiak dan mencukur rambut kemaluan, agar kami tidak
membiarkannya lebih dari empat puluh malam.” (HR. Muslim no. 598)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu berkata:
“Pendapat yang terpilih adalah ditetapkan waktu 40 hari sebagaimana
waktu yang ditetapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sehingga tidak boleh dilampaui. Dan tidaklah teranggap menyelisihi
sunnah bagi orang yang membiarkan kuku/rambut ketiak dan kemaluannya
panjang (tidak dipotong/dicukur) sampai akhir dari waktu yang
ditetapkan.” (Nailul Authar, 1/163)
Adapun Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu mengatakan, “Makna hadits di
atas adalah tidak boleh meninggalkan perbuatan yang disebutkan melebihi
40 hari. Bukan maksudnya Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wa sallam
menetapkan waktu untuk mereka agar membiarkan kuku, rambut ketiak dan
rambut kemaluan tumbuh selama 40 hari.” (Al-Minhaj 3/140, Al-Majmu’
Syarhul Muhadzdzab 1/340)
Dalam memotong kuku boleh meminta orang lain untuk melakukannya,
karena hal ini tidaklah melanggar kehormatan diri. Terlebih lagi bila
seseorang tidak bisa memotong kuku kanannya dengan baik karena
kebanyakan orang tidak dapat menggunakan tangan kirinya dengan baik
untuk memotong kuku, sehingga lebih utama baginya meminta orang lain
melakukannya agar tidak melukai dan menyakiti tangannya. (Tharhut
Tatsrib fi Syarhit Taqrib, 1/243)
Faidah:
Apakah bekas potongan kuku itu dibuang begitu saja atau dipendam?
Al-Hafizh rahimahullahu menyatakan bahwa Al-Imam Ahmad rahimahullahu
pernah ditanya tentang hal ini, “Seseorang memotong rambut dan
kuku-kukunya, apakah rambut dan kuku-kuku tersebut dipendam atau dibuang
begitu saja?”
Beliau menjawab, “Dipendam.” Ditanyakan lagi, “Apakah sampai kepadamu
dalil tentang hal ini?” Al-Imam Ahmad rahimahullahu menjawab, “Ibnu
‘Umar memendamnya.”
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dari hadits Wa`il bin
Hujr disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
untuk memendam rambut dan kuku-kuku. Alasannya, kata Al-Imam Ahmad
rahimahullahu, “Agar tidak menjadi permainan tukang sihir dari kalangan
anak Adam (dijadikan sarana untuk menyihir, pent.).” Al-Hafizh
rahimahullahu juga berkata, “Orang-orang yang berada dalam madzhab kami
(madzhab Asy-Syafi’i, pent.) menyenangi memendam rambut dan kuku (karena
rontok atau sengaja dipotong, pent.) karena rambut dan kuku tersebut
merupakan bagian dari manusia. Wallahu a’lam.”
Kamis, 19 Juli 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar