Kamis, 19 Juli 2012

Hukum Memotong Kuku Di Hari Jum’at

Memotong kuku hukumnya sunnah, tidak wajib. Dan yang dihilangkan adalah kuku yang tumbuh melebihi ujung jari, karena kotoran dapat tersimpan/tersembunyi di bawahnya dan juga dapat menghalangi sampainya air wudhu. Disenangi untuk melakukannya dari kuku jari jemari kedua tangan, baru kemudian kuku pada jari-jemari kedua kaki. Tidak ada dalil yang shahih yang dapat menjadi sandaran dalam penetapan kuku jari mana yang terlebih dahulu dipotong.
Ibnu Daqiqil Ied rahimahullahu berkata, “Orang yang mengatakan sunnahnya mendahulukan jari tangan daripada jari kaki ketika memotong kuku perlu mendatangkan dalil, karena kemutlakan dalil anjuran memotong (tanpa ada perincian mana yang didahulukan) menolak hal tersebut.”
Namun mendahulukan bagian yang kanan dari jemari tangan dan kaki ada asalnya, yaitu hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang menyatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyenangi memulai dari bagian kanan. (Lihat Fathul Bari 10/425, Tharhut Tatsrib fi Syarhit Taqrib 1/241, Al-Mughni, kitab Ath-Thaharah, fashl Hukmu Taqlimul Azhfar)
Tidak ada dalil yang shahih tentang penentuan hari tertentu untuk memotong kuku, seperti hadits:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَسْتَحِبُّ أَنْ يَأْخُذَ
مِنْ أَظْفَارِهِ وَشَارِبِهِ
يَوْمَ الْجُمُعَةِ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyenangi memotong kuku dan kumisnya pada hari Jum’at.”
Hadits ini merupakan salah satu riwayat mursal dari Abu Ja’far Al-Baqir, sementara hadits mursal termasuk hadits dhaif. Wallahu a’lamu bish-shawab.
Dengan demikian memotong kuku dapat dilakukan kapan saja sesuai kebutuhan. Al-Hafizh rahimahullahu menyatakan melakukannya pada setiap hari Jum’at tidaklah terlarang, karena bersungguh-sungguh membersihkan diri pada hari tersebut merupakan perkara yang disyariatkan. (Fathul Bari, 10/425)
Akan tetapi kuku-kuku tersebut jangan dibiarkan tumbuh lebih dari 40 hari karena hal itu dilarang, sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
وُقِّتَ لَنَا فِي قَصِّ
الشَّارِبِ وَتَقْلِيْمِ
اْلأَظْفَارِ وَنَتْفِ
اْلإِبْطِ وَحَلْقِ الْعَانَةِ
أَنْ لاَ نَتْرُكَ أَكْثَرَ
مِنْ أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً
“Ditetapkan waktu bagi kami dalam memotong kumis, menggunting kuku, mencabut rambut ketiak dan mencukur rambut kemaluan, agar kami tidak membiarkannya lebih dari empat puluh malam.” (HR. Muslim no. 598)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu berkata:
“Pendapat yang terpilih adalah ditetapkan waktu 40 hari sebagaimana waktu yang ditetapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga tidak boleh dilampaui. Dan tidaklah teranggap menyelisihi sunnah bagi orang yang membiarkan kuku/rambut ketiak dan kemaluannya panjang (tidak dipotong/dicukur) sampai akhir dari waktu yang ditetapkan.” (Nailul Authar, 1/163)
Adapun Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu mengatakan, “Makna hadits di atas adalah tidak boleh meninggalkan perbuatan yang disebutkan melebihi 40 hari. Bukan maksudnya Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wa sallam menetapkan waktu untuk mereka agar membiarkan kuku, rambut ketiak dan rambut kemaluan tumbuh selama 40 hari.” (Al-Minhaj 3/140, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab 1/340)
Dalam memotong kuku boleh meminta orang lain untuk melakukannya, karena hal ini tidaklah melanggar kehormatan diri. Terlebih lagi bila seseorang tidak bisa memotong kuku kanannya dengan baik karena kebanyakan orang tidak dapat menggunakan tangan kirinya dengan baik untuk memotong kuku, sehingga lebih utama baginya meminta orang lain melakukannya agar tidak melukai dan menyakiti tangannya. (Tharhut Tatsrib fi Syarhit Taqrib, 1/243)
Faidah:
Apakah bekas potongan kuku itu dibuang begitu saja atau dipendam? Al-Hafizh rahimahullahu menyatakan bahwa Al-Imam Ahmad rahimahullahu pernah ditanya tentang hal ini, “Seseorang memotong rambut dan kuku-kukunya, apakah rambut dan kuku-kuku tersebut dipendam atau dibuang begitu saja?”
Beliau menjawab, “Dipendam.” Ditanyakan lagi, “Apakah sampai kepadamu dalil tentang hal ini?” Al-Imam Ahmad rahimahullahu menjawab, “Ibnu ‘Umar memendamnya.”
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dari hadits Wa`il bin Hujr disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk memendam rambut dan kuku-kuku. Alasannya, kata Al-Imam Ahmad rahimahullahu, “Agar tidak menjadi permainan tukang sihir dari kalangan anak Adam (dijadikan sarana untuk menyihir, pent.).” Al-Hafizh rahimahullahu juga berkata, “Orang-orang yang berada dalam madzhab kami (madzhab Asy-Syafi’i, pent.) menyenangi memendam rambut dan kuku (karena rontok atau sengaja dipotong, pent.) karena rambut dan kuku tersebut merupakan bagian dari manusia. Wallahu a’lam.”

Wahai suami…jangan kau lecehkan istrimu

Suamiku sering menyebut-nyebut kelebihan wanita lain di depanku . ” ujar seorang ummahat. Tampak kesedihan terpancar dari wajahnya. Dan, kedua matanya pun berkaca-kaca.
Memang, ada kalanya seorang suami tidak puas dengan keadaan
istrinya. Ia selalu mengingat kekurangan istrinya & membandingkannya dengan wanita lain
Boleh jadi kekurangan istri dirasa cukup berat bagi suami, akan tetapi dalam waktu yang sama, sang istri sesungguhnya juga memiliki banyak kelebihan atau keistimewaan, serta sekian banyak sifat yang terpuji. Ini semua menuntut sang suami untuk perlahan-lahan dan berhati-hati di dalam mengambil sikap. Jangan sampai ia menilai dan meghukum istrinya hanya melalui aib-aibnya saja, akan tetapi ia harus melihat kebaikan dan keburukannya, serta kelebihan dan kekurangannya secara bersamaan. Janganlah ia memberikan keputusan berdasarkan satu sudut pandang saja. Janganlah i a membenci istri karena satu perilaku yang menjadi bagian dari tabiatnya
Allah berfirman:
“ … Dan bergaullah dengan mereka secara patut, kemudian bila kamu
tidak menyukai mereka, (makabersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahalAllah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An Nisa’:19)
Oleh karena itu, janganlah seorang suami membenci istrinya karena perilaku tertentu. Sekali-kali jangan! Nabi bersabda, “Janganlah seorang mukmin itu membenci seorang mukminah. Jika ia benci kepada satu perilaku, maka ia akan puas dengan perilaku yang lainnya.” (Riwayat Muslim)
Hendaklah sang suami itu sadar, bahwa ia tidak akan mendapatkan seorang istri yang bebas dari kekurangan. Boleh jadi istrinya itu, dengan segala kekurangan yang ada, tetap lebih baik daripada sekian wanita lainnya, hanya saja ia tidak melihat kekurangan atau aib wanita lainnya itu.
Jika engkau ingin mengenal hal itu, peganglah kertas dan pena, dan tulislah kelebihan-kelebihan istrimu dan kekurangan-kekurangannya, tentu engkau akan melihat bahwa kelebihannya jauh lebih banyak daripada kekurangannya. Ketahuilah, bahwa dalam kehidupan rumah tangga ini tidak memungkinkan bagimu untuk mendapatkan seorang istri yang seratus persen sesuai dengan kriteria yang engkau inginkan. Sudah tentu terdapat perbedaan karakter, dan sudah tentu pula bahwa engkau akan melihat sesuatu yang mengagumkanmu dan sesuatu yang tidak menyenangkanmu.Ketahuilah hai para suami, istrimu tidak dan tidak akan seratus persen sebagaimana yang engkau inginkan. Sebab, ia menerima pendidikan yang berbeda dengan pendidikan yang engkau dapatkan, serta memiliki tabiat yang berbeda dengan tabiat yang ada pada dirimu.
Terkadang ia memang mirip denganmu dalam beberapa hal, namun berbe da dalam hal lainnya. Oleh karena itu, terimalah kenyataan ini. Janganlah engkau melawan kehidupan dan hendak mengalahkan tabiat yang sudah mengakar, karena tidak mudah mengubahnya. Sekalipun hal itu mungkin, akan tetapi jelas memerlukan waktu yang cukup panjang, kesabaran yang mendalam, latihan secara terushmenerus, nafas yang panjang dan jiwa yang tabah.
Selain kurang bersabar terhadap kekurangannya, kadang para suami suka melecehkan akal para istrinya dan cara dia dalam berpikir. Suami yang melakukan hal seperti ini sebenarnya hanya menyebarkan keletihan dan tidak mencari kebahagiaan rumah tangga. Demikian juga, ia adalah seorang suami yang tidak pantas mendapatkan penghormatan dari istrinya, karena yang namanya penghormatan itu adalah sesuatu yang bersifat timbal balik. Sepanjang engkau tidak menghormati orang lain, maka orang tersebut tidak akan menghormatimu, kecuali jika engkau mau hormat kepadanya.
Seorang istri yang merasakan bahwa suaminya melakukan hal seperti ini, yaitu pelecehan terhadap akalnya dan caranya dalam berpikir, maka istri tersebut tidak akan memberikan cintanya kepada suaminya. Ada persoalan yang dipahami secara keliru oleh kaum lakihlaki. Yaitu bahwa mereka menganggap akal wanita itu lemah dan kurang cerdas, serta cara berpikirnya bengkok, kurang lurus. Dan bahwa ia tidak mungkin memiliki pendapat yang lurus. Pendapat dan anggapan seperti ini sama sekali tidak ada dasarnya, dan jelas tidak benar. Sumbernya adalah pemahaman yang keliru mengenai beberapa hadits yang berbicara mengenai masalah ini. Misalnya adalah hadits yang menyebutkan bahwa mereka adalah “Orang-orang yang kurang akal dan agamanya.” Redaksi hadits seperti ini dipahami secara keliru oleh sebagian orang. Mereka memahami bahwa kurangnya akal di sini adalah kurangnya kecerdasan atau kebengkokan dalam berpikir. Ini jelas keliru. Yang dimaksudkan di sini adalah sifat lupanya kaum wanita lebih banyak daripada lelaki. Hal itu disebabkan karena ada banyak hal yang dialami oleh kaum wanita yang membuatnya mudah lupa, terlebih dalam kehidupan umum, dimana ia tidak bisa seleluasa kaum lelaki.Dalil mengenai hal itu ialah bahwa Nabi ketika ditanya oleh kaum wanita, “Apakah kekurangan akal dan agama kami, wahai Rasulullah?”
Maka beliau menjawab, “Bukankah kesaksian wanita itu adalah separuh dari kesaksian laki-laki?”
Kami menjawab, “Ya benar.”
Nabi bersabda, “Itulah bentuk kekurangan akalnya.”
Nabi bertanya lagi, “Bukankah jika sedang haid, ia tidak mengerjakan shalat dan juga tidak berpuasa?”
Kami menjawab, “Ya benar.”
Nabi menjawab, “Itulah bentuk kekurangan agamanya.”
Dengan demikian, kekurangan yang disebutkan dalam hadits tersebut memiliki makna sebagaimana yang telah kami sebutkan di atas.
Demikian juga halnya dengan kekurangan agamanya. Ia tidak berarti kekurangan mengenai hakikat agamanya, akan tetapi kekurangan itu terdapat pada sebagian dari hal-hal peribadahan.
Sedangkan dalam hal ini ia tidaklah dihukum karena meninggalkannya. Bahkan ia justru diharamkan untuk mengerjakannya. Wanita yang sedang haid diharamkan mengerjakan shalat dan puasa. Jika ketika itu ia mengerjakan shalat dan puasa, tentu ia berdosa, sekalipun ia berkewajiban menqadha’ puasa, namun ia tidak perlu mengqadha’ shalat, sebagai bentuk peringanan terhadapnya dan rukhsah dari Allah .
Akal wanita adalah akal yang harus dihormati. Ada sebagian wanita yang memiliki keistimewaan berupa kecerdasan akal yang lebih hebat dibanding akal kaum laki-laki. Contoh untuk hal ini sangatlah banyak, dan bukanlah di sini tempatnya untuk menyebutkannya.Akan tetapi, bagaimanapun, kecerdasan akal wanita dijadikan oleh Allah dengan garis yang berbeda denga garis kecerdasan laki-laki. Ia merupakan kecerdasan jenis khusus. Oleh karena itu, ia memiliki perhatian-perhatian khusus. Itu merupakan hikmah agung yang hanya diketahui oleh Allah .
Boleh jadi hal itu dijadikan untuk memperkaya kehidupan, sehingga kehidupan ini menjadi lebih bervariasi, dan agar laki-laki tidak berkuasa dengan akalnya saja, akan tetapi perasaan wanita yang menggelora itu juga memberikan makna lain bagi kehidupan.
Adapun jika dasar keyakinan pada diri laki-laki berkenaan dengan akal wanita bukanlah sebagaimana dijelaskan di atas, dan memang ia telah menikahi yang kurang cerdas atau bengkok pikirannya, maka tidak ada alasan baginya untuk menyebutkan hal itu di hadapannya, atau selalu membodoh-bodohkan pendapatnya. Ia pun harus menerima segala kekurangannya, sepanjang ia menjadi istrinya. Adalah tidak adil jika ia menimbangnya dengan sesuatu yang memang tidak dimiliki olehnya.
Yang tak kalah penting lagi adalah pernyertaan istri terkait dengan urusan rumah tangga. Yaitu dalam hal berpikir dan merencanakan suatu hal bersama sang suami, serta bermusyawarah dengannya.Banyak kaum lelaki yang masih berpikiran bahwa “bermusyawarah dengan wanita hanya akan merobohkan rumah tangga.” Bisa jadi hal ini ada benarnya untuk sebagian kaum wanita. Akan tetapi, ada sebagian kaum wanita atau istri yang bila diajak bermusyawarah, maka akal pikiran atau pendapatnya akan bisa memecahkan sekian banyak masalah yang dihadapi….
Rasulullah pun tidak segan untuk meminta pendapat istrinya. Jadi… jangan segan untuk mencontoh Rasulullah dalam masalah ini. Setuju?
Sumber:FAtawa Vol.IV

YANG PENTING NIAT, CUKUPKAH ?


Dari Amiril Muminin Abi Hafsh Umar ibnu Al Khathab radhiyallahu anhu, berkata: ‘Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya amal-amal itu bergantung kepada niatnya. Dan setiap orang memperoleh sesuai dengan apa yang ia niatkan. Maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang dikejarnya atau wanita yang hendak ia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang ia (niatkan) hijrah kepadanya.” (HR: Bukhari-Muslim)
Hadits di atas begitu popular di kalangan kaum muslimin. Sering sekali kita mendengar ucapan: “Yang penting niat. Bukankah niat kita baik” Dan sangat boleh jadi pengucapnya hanya tahu sedikit atau sebagian dari kaidah ini. Mungkin dia mendengar hanya potongan dari hadits ini yang diucapkan seseorang, mungkin juga lengkap tetapi telah disimpangkan pengertiannya oleh orang yang ia dengar darinya hadits ini. Akhirnya semakin jauhlah apa yang sering diucapkan kebanyakan kaum muslimin dengan maksud sesungguhnya dari hadits di atas, bahkan bertentangan sama sekali.
Sesungguhnya hadits ini sangat mulia dan keluar dari lisan manusia yang paling mulia. Oleh karenanya wajib bagi kita untuk mengetahui dan mempelajarinya, sebagaimana para ulama kita memberikan perhatiannya yang khusus terhadap hadits ini.
Beberapa komentar para ulama di bawah ini menunjukkan betapa agung dan pentingnya hadits ini di dalam Islam.
1. Imam Asy-Syafi’i, “Hadits Niat masuk di dalam tujuh puluh bab masalah-masalah fiqh.”
2. Imam Ahmad ibnu Hambal,”Pokok ajaran Islam terdapat pada tiga buah hadits. Hadits Umar (hadits yang kita bicarakan sekarang), Hadits Aisyah, dan Hadits Nu’man ibn Basyir.”
3. Imam Syaukani,” Hadits Niat merupakan sepertiga ilmu (-di dalam Islam-).
4. Imam Ibnu Rajab,”Hadits Niat merupakan timbangan bagi amalan batin, sedangkan Hadits Aisyah merupakan timbangan bagi amalah dzahir.”
5. Imam Abu Sa’id Abdurrahman ibnu Mahdi,” Siapa saja yang hendak menulis sebuah kitab, hendaknya ia membuka dan memulainya dengan membawakan Hadits Niat.”
Demikianlah di antara beberapa ucapan para ulama berkaitan dengan hadits Niat yang menunjukkan betapa mereka memberikan perhatian khusus terhadap hadits ini. Bahkan tidak sedikit yang menjadikan hadits ini sebagai perkara yang pertama dibahas di dalam tulisan mereka, yang antara lain dimaksudkan sebagai penghormatan terhadap hadits ini, agar para pencari ilmu membenarkan dan meluruskan niat mereka ketika mereka hendak mempelajari agama ini (Islam), dan juga tentunya masih banyak lagi faidahnya.
Mereka -yang memulai kitabnya dengan hadits ini- adalah Imam Al Bukhari (dalam Shahih-nya), Imam An-Nawawi (Riyadlush-Shalihin dan Al Arba’in-nya), Taqiyuddin Al Maqdisi (Umdatul Ahkam), dan Imam Asy-Syuyuthi (Jami’ush-Shaghir)
Di antara faidah, fiqh, atau hikmah yang dapat kita petik dari hadits ini -sebagaimana kita dapati dari keterangan para ulama- adalah:
1. Niat merupakan bagian dari Iman
Niat merupakan amalan hati. Sedangkan ta’rif (definisi) Iman menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah: Diyakini di dalam hati, diucapkan melalui lisan, dan dibuktikan dengan anggota badan dan perbuatan….Oleh karena nya pula Imam Bukhari meletakkan hadits ini di dalam Kitab Al Iman. Bukankah Allah subhanahu wa ta’aala mencatat niat-niat baik kita dengan pahala yang sempurna meskipun amalan tersebut belum kita wujudkan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai berikut: “Maka barangsiapa yang bercita-cita hendak mengerjakan kebaikan tetapi belum mengamalkannya, Allah mencatat -bagi orang tersebut- di sisi-Nya dengan kebaikan yang sempurna” (Muttafaqun alaihi)
2. Wajib mengetahui hukum dari sebuah amalan sebelum mengerjakannya
Setiap muslim wajib mengilmui sesuatu sebelum mengamalkannya. Apakah amalan tersebut disyari’atkan atau tidak, apakah itu wajib atau semata mustahab (disukai)? Dan telah masyhur bagi kita (kaum muslimin) sebuah kaidah yang berbunyi: ‘Ilmu sebelum berkata dan bertindak’. Bahkan Imam Bukhari menulis demikian pada salah satu judul babnya. Dalilnya diambil dari Firman Allah:
“Maka ilmuilah bahwasanya tak ada yang berhak diibadahi kecuali ALLAH dan istighfarlah atas dosamu” (QS.Muhammad: 19)
Maka tidak layak bagi kita berkata, “Oh…jadi perbuatan saya itu salah, ya. Saya khan belum tahu hukumnya.” Terlebih lagi kalau itu perkara agama atau ibadah.
3. Disyaratkannya niat pada amalan-amalan ketaatan
Amalan taat yang tidak disertai dengan niat tidaklah dikatakan ketaatan. Begitu pula kebaikan-kebaikan tidaklah menjadi ibadah jika tidak disertai niat untuk beribadah. Karenanya pertama-tama perlu kita mengetahui apa fungsi niat bagi amal.
Sesungguhnya niatlah yang membedakan sebuah amalan. Pertama, dibedakannya amalan ibadah dengan kebiasaan atau yang bukan bersifat ibadah. Seseorang yang mandi keramas untuk kebersihan tak perlu berniat sebagaimana orang yang mandi keramas karena junub.
Kedua, dibedakannya antara ibadah yang sama satu sama lain. Jika kita dapati seseorang berpuasa di bulan Syawal, misalnya. Maka boleh jadi orang tersebut sedang membayar hutang puasanya, boleh jadi ia sedang puasa Syawal, atau boleh jadi ia sedang puasa sunnah lainnya. Yang membedakan dan menentukan untuk apa amalan tersebut adalah niatnya.
Ketiga, dibedakannya maksud dan tujuan sebuah amalan. Seseorang mengerjakan ketaatan bahkan perbuatan yang bersifat ibadah. Maka apakah perbuatan tersebut diniatkan untuk mendapatkan keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala atau mengharapkan selain dari itu ditentukan oleh niatnya.
4. Pentingnya ikhlas di dalam beramal.
Ada sebagian ulama yang menafsirkan makna Niat ini dengan Ikhlas. Yang demikian juga benar, karena artinya: Sesungguhnya amalan-amalan itu bergantung kepada keikhlasan pelakunya. Sebuah amal –betapapun baik atau bermanfaatnya itu- jika tidak dilandasi keikhlasan tidak akan diterima oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
“Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali agar beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama ini semata-mata bagi-Nya…” (QS.Al Bayyinah: 5)
Sungguh Allah subhanahu wa ta’ala tidak membutuhkan keringat atau harta kita. Dan mengikhlaskan amalan semata-mata karena Allah merupakan wujud mentauhidkan Allah. Artinya, ikhlas juga merupakan sebuah tuntutan dan konsekuensi dari diciptakannya kita oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Sayangnya, masih banyak orang yang salah mengerti tentang makna ikhlas. Menurut mereka, ikhlas itu artinya tidak menuntut apa-apa dari Allah subhanahu wa ta’ala. Bahkan mereka beranggapan bahwa, barangsiapa beribadah untuk mengharapkan surga maka itu ibadahnya pedagang. Dan barangsiapa beribadah karena takut akan neraka maka itu ibadahnya budak.
Ada lagi yang berkata, “Hendaknya kita malu untuk meminta-minta kepada Allah, karena Ia telah banyak memberikan segala sesuatu kepada kita. Apalagi, Allah Maha Mengetahui apa yang kita butuhkan tanpa harus kita meminta.”
Ada lagi yang lebih lancang -semoga Allah memberinya hidayah- dengan memperumpamakan ikhlas itu keadaannya seperti kita buang air besar, di mana kita tidak memperdulikan apa yang keluar dari perut kita dan bahkan kita merasa lega setelah membuangnya.
Alangkah berbahayanya ucapan ini dan alangkah buruknya perumpamaan yang mereka berikan. Pertama, mereka telah mendustakan janji-janji dan ancaman-ancaman Allah. Lantas buat apa Allah subhanahu wa ta’ala menjanjikan kita surga dan menakut-nakuti kita dengan neraka, jika ibadah kita bukan karena itu?
Kedua, mereka menantang kemurkaan Allah dan menolak keridhaan-Nya. Dan jika orang tersebut tidak bertobat dari keyakinannya, sangat boleh jadi ia tak akan masuk surga karena memang ia tak mengharapkannya, dan ia akan dimasukkan ke neraka karena mengatakan tidak takutnya kepada neraka. Allah subhanahu wa ta’ala menggambarkan ikhlas dengan perumpamaan yang baik, sedang mereka menggambarkannya dengan perumpamaan yang buruk.
Ketiga, menyelisihi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan merasa lebih baik dari beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saja berdoa ,” Ya, Allah. Aku mengharapkan ridha-Mu dan Surga. Dan aku berlindung dari murka-Mu dan Neraka.”
Keempat, melecehkan perintah Allah subhanahu wa ta’ala. Bukankah Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintahkan hamba-Nya agar berdoa,
“Dan berkata Rabb kalian: “Berdoalah kalian kepada-Ku, niscaya Kupenuhi untuk kalian…” (QS.Al Mu’min: 60)
Hendaknya kita senantiasa memperhatikan gerak hati kita, karena keikhlasan kita senantiasa diuji. Pertama, sebelum beramal, yakni berupa niat. Kepada siapa dan karena apa kita niatkan amalan kita?
Kedua, ketika tengah beramal. Boleh jadi amalan yang semula lhklas terganggu disebabkan ada kejadian-kejadian khusus dan tak terduga. Sebagai contoh, kita marah ketika ucapan salam kita tidak dijawab, atau sedekah kita ditolak mentah-mentah, atau kita tambah bersemangat ketika tahu amalan kita ada yang memperhatikan.
Ketiga, ketika amal telah berlalu. Tanpa sadar setelah mungkin bertahun-tahun kita sembunyikan, tiba-tiba dalam sebuah obrolan kita bangkit-bangkitkan jasa kita dahulu.
5. Baik buruknya amal bergantung kepada niat pelakunya
Sebuah amal kebaikan akan menjadi ibadah yang diterima manakala diniatkan dengan niat yang baik, berupa keikhlasan, dan akan menjadi buruk manakala diniatkan dengan niat buruk, berupa ksyirikan -baik kecil apalagi besar-. Akan tetapi seseorang tidak boleh menghalalkan yang haram semata-mata dengan alasan baiknya niat. Dan berangkat dari perkara inilah sesungguhnya judul tulisan di atas dibuat.
Di dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan pembatasan pada kata Amal, di mana yang dimaksudkan adalah amalan-amalan ketaatan. Apalagi kemudian beliau tegaskan dengan contoh Hijrah. Maka tidak boleh kita meng-qiyaskan amalan yang baik ini dengan amalan yang buruk, seperti mencuri misalnya.
Namun akhir-akhir ini manusia bermudah-mudahan mengatakan, “Yang penting niat.” Atau ,”Niat kita kan baik.” Maka kemudian ditempuhlah segala cara, dihidupkanlah segala macam yang tidak disyari’atkan, dan ditempuhlah segala jalan yang tidak ada sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam padanya. Semua atas nama baiknya niat. Cukupkah itu? Cukupkah segala sesuatu hanya dengan alasan baiknya niat? Sungguh tak ada satupun manusia di muka bumi ini yang mengaku punya niat buruk. Bukankah para penjahat juga jika ditanya kenapa ia melakukan kejahatan itu, niscaya mereka mengatakan bahwa niat mereka baik -untuk menafkahi anak dan isteri-.
Seandainya memang amalan yang buruk atau jahat itu bisa menjadi baik karena niat dan yang haram bisa menjadi halal (bukan dalam hal darurat) juga karena niat, maka apa bedanya ajaran yang suci ini (Islam) dengan Machiavalisme, sebuah falsafah -Tujuan Menghalalkan Cara- yang digagas oleh si kafir Nicolo Machiavale?.
Maka hendaknya berhati-hati dalam mengatakan (“Yang penting niat.”) atau (“Niat kita kan baik.”). Boleh jadi yang mengucapkan mengira dia mengutip hadits yang mulia dan menganggap dirinya sedang mengagungkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, padahal tanpa ia sadari ia sedang mengutip filsafat hina dan sedang mengagungkan si kafir tadi. (Na’udzubillah).
Penutup
Masih banyak faidah, fiqh, atau hikmah yang dapat kita petik selain yang telah disebutkan di atas seperti, keutamaan hijrah, balasan sesuai amalan, atau syarat diterimanya ibadah. Namun kami cukupkan pembahasan di dalam perkara yang berkaitan langsung dengan judul di atas dan dengan permasalahan yang hendak kami bahas.
Dengan melihat bagaimana para ulama berkomentar tentang hadits ini, tidak sedikitnya kitab-kitab yang diawali dengan hadits ini -bahkan itu semua adalah kitab-kitab yang terkenal-, dan begitu banyaknya ulama belakangan yang menguraikannya, cukuplah ketidakhafalan dan ketidakpahaman kita akan hadits ini sebagai bukti ketidakseriusan kita dalam beragama.